Banjarbaru - Kasus pembunuhan tragis yang menimpa Juwita seorang jurnalis asal Kalimantan Selatan, mengguncang publik setelah pelaku yang merupakan oknum anggota TNI AL, Kelasi Satu Jumran ditetapkan sebagai tersangka.
Juwita ditemukan tewas dalam kondisi mengenaskan pada Sabtu (22/3/2025) lalu di Jalan Gunung Kupang, Kota Banjarbaru dan hasil penyelidikan mengungkap bahwa pembunuhan dilakukan secara terencana dan tenang di dalam sebuah mobil.
Selain itu, jasadnya ditinggalkan oleh pelaku dipinggir jalan dengan upaya rekayasa kecelakaan serta diduga ada upaya menghilangkan barang bukti.
Bahkan dari hasil pemeriksaan, pelaku juga sempat melakukan pemerkosaan terhadap korban sebelum akhirnya terjadi aksi pembunuhan.
Kasus ini tidak hanya menyorot aspek kriminal, tetapi juga menimbulkan pertanyaan besar di kalangan masyarakat terkait kondisi psikologis pelaku.
Menanggapi hal tersebut, Dosen Psikologi Fakultas Kedokteran Universitas Lambung Mangkurat, Jehan Safitri, memberikan pandangannya.
Ia mengatakan bahwa ketenangan dan perencanaan yang matang dari pelaku dalam menjalankan kejahatannya bisa menjadi indikator awal adanya gangguan kepribadian serius.
"Kondisi seperti ini menggambarkan bahwa jika seseorang mampu merencanakan tindakan kejahatan secara cermat, bahkan berpotensi mengulanginya, ada beberapa kemungkinan gangguan psikologis yang bisa menjelaskan perilaku tersebut," ujar Jehan kepada wartawan Babuncu4news. Minggu (6/4/2025).
Menurutnya, salah satu kemungkinan adalah gangguan kepribadian antisosial, yaitu kondisi ketika seseorang mengabaikan hak orang lain dan tidak memiliki empati maupun rasa bersalah.
“Individu dengan gangguan ini cenderung menyakiti orang lain demi mendapatkan apa yang mereka inginkan. Secara kognitif, mereka tidak mampu membedakan benar dan salah, karena yang penting bagi mereka adalah mendapatkan keinginannya," jelasnya.
Jehan juga menyebut kemungkinan lain, seperti skizofrenia, di mana pelaku mengalami delusi dan kesulitan membedakan kenyataan.
"Dalam beberapa kasus skizofrenia, pelaku bisa saja merasa bahwa membunuh orang lain adalah hal yang benar karena adanya bisikan atau delusi tertentu dalam pikirannya," ujarnya.
Selain itu, tingkat kecerdasan yang rendah juga bisa menjadi faktor pemicu. Individu dengan kecerdasan rendah sering kali tidak mampu menyelesaikan masalah secara adaptif dan cenderung memilih jalan pintas yang berbahaya, seperti menyakiti atau membunuh orang lain saat berada dalam tekanan.
"Ketika ada niat, kemudian didukung oleh kesempatan, apalagi jika individu berada dalam kondisi penuh tekanan, kejahatan bisa saja terjadi," tuturnya.
Namun, Jehan menekankan bahwa untuk memastikan gangguan psikologis yang dimiliki pelaku, perlu dilakukan pemeriksaan psikologis forensik secara menyeluruh.
"Kita harus tahu juga bagaimana riwayat pelaku dalam menghadapi situasi stres sebelumnya. Kalau perencanaannya matang, alat sudah disiapkan, dan tindakannya bertujuan menghindari konsekuensi, besar kemungkinan kejahatan dilakukan secara sadar, bukan karena impuls sesaat," tegasnya.
Sebagai langkah pencegahan, Jehan mendorong agar instansi yang menaungi aparat keamanan bersenjata lebih mengoptimalkan proses asesmen psikologis, baik saat seleksi maupun selama masa aktif bertugas.
"Asesmen psikologi saat perekrutan harus diperketat, dan pemeriksaan berkala harus dijadikan standar untuk deteksi dini gangguan kejiwaan. Selain itu, treatment berkala berupa edukasi dan pelatihan pengelolaan emosi juga sangat penting," pungkasnya.